Kurang Diperhatikan, Banyak Pasien Sakit Jiwa Berkeliaran Di Kota

JUBI – Pasien sakit jiwa (orang gila) masih dianggap hal biasa oleh pihak keluarga si pasien dan juga pihak pemerintah. Akibatnya hanya sedikit perhatian yang diperoleh dan akhirnya banyak diantaranya yang berkeliaran secara bebas.

Berkeliaraannya orang sakit jiwa secara bebas di tengah kota, tentu sangat mengkawatirkan masyarakat pengguna jalan. Jika tertabrakan, tentu yang waras yang dipersalahkan. Dan jika pejalan kaki terkena serangan pukulan, tidak ada yang dapat bertanggung jawab tentunya. Seperti akhir-akhir ini, Kota Jayapura seperti mendapat banyak tambahan orang sakit jiwa. Kerap kita menemuinya berjalan atau hanya duduk duduk saja di sepanjang jalan kota ini. Kepala Keperawatan Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Abepura, Daniel Lukas Simonapendi, saat di temui Jubi di ruang kerjanya, awal bulan Mei lalu menceritakan bahwa kasus sakit jiwa terbanyak yang diterima RSJ Daerah Jayapura diakibatkan karena sakit malaria, kurangnya perhatian dari keluarga, permasalahan ekonomi dan depresi karena sulitnya mencari tidak mendapat pekerjaan yang layak. “Masalah-masalah itu membuat banyak duiantaranya yang depresi, namun karena tidak mendapatkan pengobatan dengan baik sampai akhirnya mengalami gangguan jiwa atau sakit jiwa,” ujar Simonapendi. Menurutnya jenis penyakit jiwa yang dialami oleh seseorang berbeda beda mulai dari yang ringan hingga yang tergolong berat, seperti stres, sisofrenia dan depresi.
Jenis stres sendiri digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu stres ringan, kategori ini biasanya penderita sering melupakan apa dikerjakan atau barang miliknya. Kategori stres sedang, biasanya misalnya orang mendengar berita yang membuat ia sedih dan menangis. Dan kategori stres berat biasanya orang yang sudah tidak bisa bekerja lagi, penderita sudah tidak bisa melakukan pekerjaannya lagi, berbicara dan tertawa sendiri-sendiri.
Jenis gangguan jiwa yang kedua adalah sisofrenia. Jenis gangguan ini merupakan gangguan berat pada proses berpikir seseorang. Dimana pikiran penderita terpecah-pecah, akhirnya pasien tersebut sudah tidak berpikir dengan baik. “Biasanya jika kita memandangi pasien sisofrenia, pasien akan mengejar kita. Hal ini karena penderita menderita paranoid atau rasa curiga, rasa takut, rasa cemburu pada seseorang sehingga membuat dirinya tenang, tidak suka berbicara kepada orang lain dan suka menyendiri dari banyak orang,” jelas Simonapendi, sedangkan yang terberat adalah Depresi. Jenis ini adalah gangguan Afec perasaan seseorang, sehingga menimbulkan perasaan emosi dalam dirinya.
Walaupun tergolong penyakit yang berarti dapat disembuhkan, dalam penangannya selama ini pasien yang gangguan jiwa atau sakit jiwa tidak diperhatikan oleh pihak keluarga maupun pemerintah. “Pemerintah lebih memperhatikan pasien yang terkena penyakit fisik atau penyakit yang kelihatan seperti penyakit malaria, cacat badannya seperti putus kaki, mata buta, dan lain sebagainya. Sedangkan penyakit yang menyerang mental ini dianggap sebelah mata, tidak heran kalau saat ini banyak pasien penyakit jiwa yang berkeliaran di pinggiran jalan, depan toko atau di pasar,” ujarnya. Padahal penyakit mental jika masih pada tahap ringan seperti stres dapat dengan mudah diobati asalkan dilakukan secara teratur. Namun jika dibiarkan berlarut larut maka akan bertambah parah dan akan lebih sulit untuk diobati. Menurutnya banyak diantara pasien sakit jiwa yang pernah dirawat sampai sembuh di RSJ daerah Abepura dan dikembalikan kepada keluarganya. Ada pula yang kemudian kembali mengalami gangguan jiwa lagi dan harus dirawat kembali di RSJ. “Akhir-akhir ini karena tekanan ekonomi yang semakin berat, misalnya karena tidak mendapat pekerjaan yang layak dan tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarganya, akhirnya pasien tersebut sakit kembali,” kata pria berumur 37 tahun ini. Pasien terbanyak adalah pasien usia remaja dan anak-anak, lalu disusul pasien berumur empat puluh lima tahun hingga tujuhpuluhan, dan terakhir usia dewasa, duapuluh hingga berusia empat puluh lima tahun. Namun untuk orang tua yang sudah lanjut usia sampai RSJ daerah Abepura belum pernah menangani hingga saat ini.
Menyangkut dengan metode perawatan yang dilakukan oleh perawat dalam mengobati pasien yang sakit jiwa, menurut suster Linda Rumanyowi, ada tiga metode yang digunakan. Pertama perawat memperkenalkan dirinya pada pasien dengan sikap terbuka dan senyum, kedua perawat membuka komunikasi dengan pasien dengan sikap tangan terbuka dan senyum kepada pasien, ketiga penyesuaian lingkungan, “Dalam perawatan, pasien dikelompokkan menurut umurnya, dan juga menurut tingkat agresifitasnya. Jika pasien sering memberontak atau banyak mengamuk maka pasien tersebut harus dipindahkan ke ruangan yang jauh dari keramaian para pengunjung dan keluarganya. Tempatnya bernama ruang gaduh gelisah atau ruang kedaruratan, jika sudah normal maka ia akan sesuai dengan jenis penyakit,” ujar suster Linda. Ruang gaduh gelisah itu seperti Unit Gawat Darurat di rumah sakit biasa. Di sana pasien akan ditangani sesuai dengan jenis penyakitnya. Pasien ditenangkan dengan alat elektro medik atau di suntik agar bisa tenang, kemudian akan mendapat pengobatan selanjutnya. Namun kerjasama, dukungan dan komunikasi yang baik dengan keluarga pasien selama proses pengobatan sangat berperan aktif dalam proses penyembuhan. Sayangkan selama ini sangat jarang terjadi. Pihak keluarga kerap menyerahkan secara total kepada rumah sakit dan sangat sedikit berperan aktif dalam penyembuhan pasien.
Namun pihak rumah sakit jiwa sendiri tidak mempunyai kewenangan untuk menjaring pasien dari jalanan atau tempat tempat umum lainnya. RSJ Daerah Abepura hanya menangani pasien yang diantar berobat ke rumah sakit untuk mendapat pengobatan. Menurut Daniel Simonapendi yang memiliki tanggung jawab besar terhadap orang yang sakit jiwa adalah pihak keluarganya. Pihak keluarga harus bertanggung jawab membawa ke rumah sakit jiwa untuk mendapat pengobatan yang layak. Selain itu dapat juga Kepala kelurahan, RT/RW setempat. “Selain itu pemerintah juga harus mempunyai tanggung jawab dan jeli melihat pasien-pasien sakit jiwa yang masih berkeliaran di tempat umum untuk di bawa ke rumah sakit Jiwa agar bisa mendapat pengobatan yang layak. Untuk itu pihak pemerintah dalam hal ini Dinas sosial harus bekerja sama dengan pihak keluarga untuk menjaring orang-orang yang sakit jiwa untuk dibawa ke rumah saki. Saya rasa perlu juga ada polisi untuk menjaring pasien gangguan jiwa atau sakit jiwa ini, karena kebanyakan pasien yang sakit jiwa itu sering mengamuk dan memberontak,” ujar Daniel dengan serius. Kebanyakan pasien sakit jiwa yang tidak dibawa ke rumah sakit disebabkan kebanyakan keluarga tidak mampu untuk membiayai, dan akhirnya penderita dibiarkan begitu saja. Pemerintah harus bertangung jawab karena dalam amanat pasal 34 undang-undang dasar 1945 yang mengatakan fakir miskin dan anak-anak terlantar di lindungi dan dipelihara oleh negara. Dan berdasarkan atas dasar hukum ini maka sudah jelas pemerintah harus bertanggung jawab dalam hal ini.
“Pernah kami dari pihak rumah sakit mengambil tindakan untuk menjaring pasien yang sakit jiwa untuk dirawat, namun pada waktu pasien tersebut sudah berhasil di jaring dan dibawa ke rumah sakit jiwa untuk mendapatkan pengobatan ternyata sampai di rumah sakit pasien tersebut meninggal dunia karena pasien terlalu banyak mengamuk dan memberontak, akhirnya pihak rumah sakit jiwa dituduh oleh keluarganya untuk harus bertanggung mejawab atas pasien tersebut.” ujar lelaki asal Waropen ini. Dengan adanya permasalahan itu, maka saat ini dari pihak rumah sakit tidak berani untuk menjaring pasien sakit jiwa untuk pengobatan. Harapan pihak rumah sakit harus ada kerja sama yang baik antara pihak keluarga dan Dinas sosial untuk menjaring pasien yang terkena gangguan jiwa ini untuk dibawa ke rumah sakit dan mendapat pengobatan.
Sem Fonataba, salah satu pegawai Kantor Dinas Sosial Provinsi Papua, yang bekerja di bagian Renovasi dan Rehabilitas Sosial (RENSOS), mengatakan memang seharusnya menjadi tanggung jawab Dinas Sosial untuk menangani pasien yang sakit jiwa, namun selama ini program kerja yang mereka tangani adalah sebagai berikut; menangani Pekerja seks komersial (PSK), Waria, Orang cacat, Fakir Miskin, dan Anak-anak terlantar. Sedangkan untuk penanganan orang yang terkena gangguan jiwa atau orang gila ini sampai saat mereka belum tangani. “Ada dua puluh tujuh program kerja dari Departemen Sosial Pusat di Jakarta yang baru saja di keluarkan namun saya secara pribadi belum tau pasti mengenai program kerja itu.Dari sekian banyak program itu ada salah satu program, yang mengarah pada kesejahteraan sosial masyarakat lainnya. Mungkin Program itu yang di dalamnya memuat tentang orang-orang yang terkena penyakit jiwa ini di tolong,” ujar Sem Fonataba. (Musa Abubar)