Muntaber Serang Warga Dogiyai Ratusan Tewas

Jubi – Korban Tewas akibat Muntaber dan Kolera di Kabupaten Dogiyai telah menembus angka 172 jiwa. Pemerintah  mengaku telah menangani kasus ini sejak awal. Lalu mengapa jumlahnya terus bertambah?

Sejak april lalu, setidaknya sudah 172 warga Lembah Kamuu, Kabupaten Dogiyai meninggal dunia. Mereka terserang penyakit muntaber dan Kolera. Saat ini wabah sudah menyerang 17 kampung dari dua distrik dilembah Kamuu, Kabupaten Dogiyai yang baru diresmikan Juli lalu. “Data yang kami himpun saat ini wabah sudah menyebar hingga 2 kampung di satu distrik di Kabupaten Paniai. Jumlah korban meninggal dunia sampai dengan 14 Juli sudah mencapai 156 orang, sedangkan data yang terkumpul hingga 21 Juli, korban meninggal dunia sudah mencapai 172 orang,” kata DR Benny Giay dari Biro Keadilan dan Perdamaian bagi keutuhan Ciptaan (KPKC) Sinode Gereja KINGMI Papua.
Awal munculnya wabah Mutaber dan Kolera ini dimulai tanggal 6 April 2008 di Ekemanida dan Idakotu, kampung dekat ibukota Distrik Kamuu Moanemani. Setelah Setelah 3 minggu wabah menyerang dan korban sudah mencapai puluhan orang, Puskesmas lalu menurunkan tim sesuai kemampuan seperti pengobatan diare biasa dan pemberian oralit. Karena tidak membuat perubahan, kepala puskesmas lalu membuat laporan kepada Dinas kesehatan Kabupaten Nabire. Tim dari Nabire datang ke Moanemani baru tanggal 7 Mei. Tim kesehatan lalu melakukan pengobatan massal kepada masyarakat selama 5 hari dan kembali ke Nabire tanggal 12 Mei. “Tim Dinas kesehatan Nabire ini mengatakan wabah ini sudah teratasi dan tidak ada korban lagi. Itu sebabnya mereka kembali. Kenyataannya terhitung sejak tanggal 13 Mei hingga 8 Juli korban yang meninggal dunia terus bertambah hingga mencapai 110 orang,” kata Yones Douw ketua koordinator perdamaian da keadilan daerah Nabire, Paniai dan Puncak Jaya. 110 korban ini berasal dari Ekemanida, Idakotu, Dogimani, Denemani, Makidimi (Apagougi), Dikiyouw (Mauwa), Kimupugi, Duntek, Bukapa, Idakebo, pugatadi I, Goodide, Ekimani/Nuwa dan Boduda.
Menurut Douw, setelah dipublikasikan di berbagai media, akhirnya datang tim dari MSF (Medecins Sans Frontieres) yang membantu masyarakat selama 2 minggu. Kemudian tanggal 6 Juni, tim Oxfam tiba di Moanemani. Mereka membantu perbaikan pipa air, kelambu di ruang perawat dan tempat tidur perawat . Pada tanggal yang sama juga tim Dinas kesehatan Kabupaten Nabire tiba. Ini kali kedua tim Dinkes Nabire datang ke Moanemani untuk mengadakan pengobatan massal. Mereka berada di Lembah Kamuu selama 5 hari, lalu kembali ke Nabire tanggal 11 Mei. Hingga tanggal 28 Mei wabah berhenti, namun sejak 2 Juli wabah timbul lagi di kampung Ekemanida dan terus berlanjut hingga sekarang.
“Keuskupan Timika kemudian menurunkan tim  medis bekerja sama dengan yayasan Caritas Timika . Mereka menemukan kasus Muntaber dan Kolera, namun karena keterbatasan kemampuan personil dan biaya maka layanan ini tidak mampu menjawab semua kebutuhan di lapangan,” kata Br. J. Budi Hermawan, OFM dari sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Jayapura.
Atas keprihatinan ini, Persekutuan Gereja Gereja Papua (PGGP) kamis (27/7) datang ke Kantor Gubernur Provinsi Papua untuk mengadukan wabahyang melanda Dogiyai kepada gubernur. Sayangnya  Gubernur tidak dapat menemui mereka karena sedang mengikuti acara turun kampung (turkam) di Senggi,Kabupaten Keerom. “Situasi sangat darurat, namun pemerintah tidak mau bergerak cepat. Mereka meminta kami menunggu hingga tanggal 31 Juli nanti, setelah turkam berakhir. Mungkin jika jumlahnya sudah ribuan, baru menjadi perhatian pemerintah,” kata Bruder Budi. Mereka kemudian meminta untuk dipertemukan dengan sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Papua, itupun tidak dikabulkan.
Akhirnya, Senin 28 Juli 2008 SKP Keuskupan Timika, Biro KPKC Sinode KIGMI Papua, SKP Keuskupan Jayapura dan KPKC Sinode GKI di Tanah Papua mengeluarkan release bersama yang intinya meminta pemerintah melakukan investigasi untuk mencari penyebab sebenarnya wabah ini agar tidak terjadi kecuriagaan di masyarakat.
“Jika tidak ada penjelasan yang baik di masyarakat, masyarakat akan berusaha mencari alasan mengapa mereka sakit, meninggal dan tidak bisa di obati. Kebenaran yang lahir bisa saja justru mengakibatkan kerusuhan massa seperti penyakit ini karena guna-guna atau penyakit ini karena diracun intel dan seterusnya. Sebab itu pengobatan sangat penting, dilanjutkan dengan penyuluhan agar masyarakat tahu pasti apa yang di derita mereka,” Kata DR. Neles Tebay, Pr, Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Teologia (STFT) Fajar Timur, Abepura.
Wakil ketua I Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) geram dengan berkepanjangannya kasus muntaber dan Kolera di Dogiyai. “Saya pikir masalah ini sudah selesai, jika ternyata tidak! Kami akan panggil gubernur untuk jelaskan permasalahan ini.” katanya. Menurutnya Program turkam itu penting, karena akan mensejahterahkan masyarakat. Tapi jika masyarakatnya sakit, bagaimana bisa sejahtera.
“Kalau data tokoh-tokoh agama ini benar, maka gubernur harus tegas menghukum aparatnya. Gubernur harus memecat kepala dinas kesehatan, karena menyembunyikan kasus yang telah menelan banyak nyawa rakyat,” lanjut Komarudin.
Kepala dinas kesehatan Provinsi Papua, dr. Bagus Sukaswara saat dihubungi Senin (28/7) sulit sekali tersambung karena berada di Tanah merah, Kabupaten Boven Digul menemani Gubernur yang sedang melakukan program turun kampung. Ia baru bisa dihubungi setelah berbagai berita dotcom mengeluarkan pernyataan para tokoh agama. “Persoalan ini sudah kami tangani sejak minggu ke empat April. Kami juga sudah menurunkan tim beberapa kali bulan Mei dan awal Juni. Dan ketika keadaan sudah dianggap baik, tim kami tarik kembali,” ujar dr. Bagus. Ia membenarkan bahwa korban meninggal disebabkan oleh Kuman vibrio kolera, namun sudah teratasi.
Pada awalnya diperkirakan bahwa penularan ini terjadi melalui air yang tercemar. Namun ternyata kasus ini kemudian meningkat kembali pada awal bulan Juni.  “Sesudah diselidiki, penyebab peningkatan kasus ini adalah akibat penularan dari orang ke orang.  Rata-rata yang sakit dan meninggal adalah mereka yang sebelumnya mengunjungi penderita yang sakit atau yang telah meninggal dunia akibat penyakit ini,” lanjut dr. Bagus.
“Yang dilakukan itu di antaranya adalah mencari penderita dan memberikan pengobatan massal, melakukan investigasi kematian, dan memberikan pengobatan langsung pada orang-orang di sekitar mereka yang meninggal akibat penyakit ini.  Di Puskesmas Moanemani telah didirikan Cholera Treatment Center untuk mengisolasi mereka yang terkena penyakit ini sehingga tidak menulari orang-orang lain,” katanya. Selain itu telah pula dilakukan pengobatan anti-biotik ke semua penduduk di kampung-kampung Dumtek, Ekimani, Ekimanida dan Idakotu untuk memutuskan mata rantai penyebaran penyakit.  Pemantauan ketat tetap dilakukan selama dua minggu sesudah penurunan kasus.  Pos oralit juga dididirikan di masing-masing kampung, khususnya yang memiliki kematian tinggi.
“Sekarang ini ada 3 (tiga) orang dokter pemerintah yang ditempatkan di Moanemani.  Sebelumnya ada 2 orang dokter MSF dan Oxfarm, 8 orang perawat pemerintah dan MSF, 4 orang ahli kesehatan dari Oxfarm dan sejumlah sarjana kesehatan masyarakat. Mereka terus bekerja bersama-sama dengan para tokoh gereja dan masyarakat untuk menangani penyakit ini,” lanjutnya.
Untuk kejadian ini, Pemerintah Provinsi Papua benar-benar prihatin dengan Kejadian Luar Biasa ini. Untuk itu  upaya-upaya akan terus ditingkatkan untuk memastikan bahwa penyakit diare-kolera ini bisa ditanggulangi dan tidak menyebar ke daerah-daerah yang lain.  Keberhasilannya sangat ditentukan oleh banyak faktor – termasuk di antaranya adalah perilaku hidup sehat pada masyarakat setempat.  Untuk itu, selain menyelenggarakan pengobatan, pemerintah memberikan fokus pada penyuluhan hygiene perorangan dan mendekatkan air bersih ke masyarakat.
Data yang dikantongi pemerintah Provinsi Papua hingga akhir april sekitar 81 orang. Sekretaris daerah (Sekda) Provinsi Papua, Tedjo Suprapto menegaskan bahwa kasus kolera muntaber di Dogiyai sudah ditangani sejak awal, sehingga datanya tidak sebesar yang diberitakan tokoh agama. “Nanti hari kamis kami akan melakukan pertemuan bersama dengan tokoh-tokoh agama mengenai permasalahan ini. Dimana letak perbedaannya akan kami bahas, termasuk nama nama korban meninggal dunia. Saya rasa Ini hanya masalah koordinasi saja,” kata Sekda. (Angel Flassy)